Memayu Hayuning Bawono

Tansah Eling Lan Waspodo

Senin, 29 November 2010

Sri Bathoro Kresno ( 21 )

Raja Duryodana dihadap oleh Patih Sakuni, Pendeta Drona, raja Baladewa, raja Salya, Karna, dan beberapa warga Korawa. Raja menyampaikan masalah ilham yang diperolehnya. Ilham itu menyatakan bahwa yang berhasil membangunkan Kresna dari tidur akan menang dalam perang Baratayuda. Raja minta kesediaan raja Baladewa untuk membangunkannya. Raja Baladewa menyanggupinya, lalu mohon diri, berangkat ke Dwarawati. Karna dan warga Korawa mengikutinya.


By: Jack Padmalukito

Sri Bathoro Kresno ( 22 )

Baladewa, Patih Sakuni dan Karna datang menemui Kresna. Baladewa minta kesediaan Kresna untuk diboyong ke Ngastina. Arjuna menolak keinginan Baladewa, Kresna dipertahankannya. Terjadilah pertikaian hebat. Baladewa melemparkan Nanggala, Arjuna menghindarinya. Nanggala tertancap ke bumi. Baladewa berteriak minta tolong, Kresna mau menolong, asal Baladewa mau mendermakan kekayaan kerajaan Mandura. Baladewa menyanggupinya, lalu bebas dari himpitan bumi.
 
Suatu ketika datanglah Cantrik meminta permasuri Baladewa. Baladewa marah, Cantrik dilempar Nanggala. Cantrik menghindar dan berubah menjadi Arjuna. Nanggala masuk ke bumi. Baladewa terhimpit bumi sejak berusaha mencabut Nanggalanya. Kresna datang menolong namun dengan perjanjian bahwa Baladewa diminta bertapa di Grojogan Sewu. Sebelum dijemput, Baladewa tidak boleh meninggalkan tapanya. Baladewa menyanggupinya lalu dilepas dari himpitan bumi.

Baladewa pergi bertapa di Grojogan Sewu, Sancaka yang menjaganya. Kresna berpesan agar menjaga uwaknya. Bila bangun supaya dadanya diusap dengan telapak tangan. Sebelum berangkat telapak tangan Sancaka diberi rajah Cakra, sewaktu-waktu untuk mengusap dada Baladewa bila akan bangun tidur, dan kembali ke Mandura.

Patih Pragota kebingungan ditinggal oleh Baladewa. Ia meninggalkan kerajaan, berkelana tidak tentu tujuan. Akhirnya Pragota tercebur dalam jurang. Patih Sakuni dan warga Korawa kembali ke Ngastina, menghadap raja Doryudana. Dilaporkannya, bahwa Kresna telah bangun, dan Baladewa meninggalkan istana. Mereka ingin menemui Kresna.

Raja Locanadewa berhasil menemukan Arjuna. Arjuna hendak dibunuh, sebab telah membunuh ayah Locanadewa. Arjuna bersiap-siap melawan Locanadewa. Panah sakti dilepaskan, Locanadewa pun musnah bersama prajuritnya.

Raja Duryodana berkeinginan memboyong Kresna ke Ngastina. Duryodana dan warga Korawa datang ke kerajaan Dwarawati. Kresna dengan senang menyambut kedatangan mereka. Duryodana minta agar hari itu Kresna mau diboyong ke Ngastina. Kresna tidak mau dan berkata, bahwa Duryodana nanti harus memilih dirinya atau prajuritnya. Duryodana bersikeras memboyong Kresna. 
Terjadilah pertikaian, prajurit Korawa mengamuk. Para Pandhawa datang menyelamatkan kerajaan Dwarawati. Wrekodara berhasil menghalau prajurit Korawa. Duryodana dan warga Korawa kembali ke kerajaan Ngastina dengan kecewa.

Minggu, 28 November 2010

Sri Batoro Kresno ( 23 )

Kunthi dihadap Karna di Ngawangga. Kresna datang bercerita tentang kepergiannya ke Ngastina sebagai utusan Pandhawa. Dikatakannya bahwa perang Baratayuda sudah diambang pintu, sebab Duryodana tidak mau melepas kekuasaannya atas Negara Ngastina. 

Kunthi diajak ke Negara Wiratha, sebab semua warga Pandhawa telah berkumpul di negara itu. Kunthi bersiap-siap pergi ke Wiratha. Melihat ibunya Karna menjadi bimbang. Ia berkata kepada Kresna, bahwa ia akan berpihak kepada Pandhawa. Kresna tersenyum, lalu menegur, memperingatkan bahwa Karna telah berjanji akan berpihak kepada Duryodana. Sebagai ksatria Karna harus berpegang kepada janjinya. Karna terpaksa mendengarkan kata-kata Kresna. 

Kemudian dengan rasa bimbang ia mengantar kepergian ibunya dan Kresna ke Wiratha.
Atas meninggalnya Drestharastra dan Gendari, Pendeta Drona dan Sakuni meminta agar Dursasana mencari korban. Dursasana pergi, kemudian menemukan tukang perahu bernama Sarka dan Tarka. 

Mereka berdua diminta kesediaannya menjadi korban. Sarka dan Tarka tidak bersedia, tapi mereka berdua dibunuh oleh Dursasana. Terdengar suara, bahwa mereka akan membalas dendam dalam perang Baratayuda. Dursasana tidak gentar, dua mayat tersebut dibawanya ke Ngastina.
Dursasana menghadap raja Duryodana dan memberi tahu bahwa korban telah tersedia. 
Bathari Durga dan Bathara Kala datang. Raja Duryodana meminta kesediaan mereka berdua untuk membantu perang Baratayuda. Mereka berdua akan mengusahakan dan meminta kurban. 
Dursasana menyerahkan dua kurban, Sarka dan Tarka. Kemudian Bathari Durga dan Bathara Kala pergi ke Wiratha setelah menerima jenasah Sarka dan Tarka.

Raja Matswapati dihadap oleh Puntadewa, Wrekodara, Arjuna, Nakula, Sadewa serta Resi Janadi, Resi Sagotra dan Bambang Irawan. 
Kemudian Kunthi datang bersama Kresna. Mereka membicarakan rencana perang Baratayuda. Janadi berkata kepada Matswapati bahwa ia pernah berjanji ingin menjadi kurban menjelang perang Baratayuda. Permintaan Janadi dan dua kawan lainnya untuk menjadi kurban diserahkan kepada Kresna dan Arjuna. Kurban manusia dilaksanakan, dengan permohonan agar Pandhawa menang dalam perang Baratayuda serta warga Pandhawa utuh dan selamat. 

Tetapi Arjuna lupa mengajukan permohonan untuk keutuhan dan keselamatan putra-putri Pandhawa.
Bathari Durga dan Bathara Kala tiba di Wiratha. Bathara Kala minta kepada raja Matswapati supaya membujuk Padhawa untuk menyerah kepada Korawa. 
Bila tidak mau menyerah, Pandhawa yang berjumlah lima ditakdirkan menjadi catu makan bagi Bathara Kala. Para Pandhawa tidak mau menyerah. 
Mereka pun menyerang Bathara Kala. Tetapi tidak seorang pun mampu melawan Bathara Kala.
Kresna naik ke Kahyangan. Di tengah perjalanan ia berjumpa dengan Wisanggeni, anak Arjuna. Kresna bercerita tentang Bathara Kala dan nasib keluarga Pandhawa. 

Wisanggeni tidak jadi ke Wiratha. Ia pergi ke Ngondarandir Bawana untuk menghadap Sang Hyang Wenang.
Wisanggeni menghadap Sang Hyang Wenang, dan meminta keterangan jadi atau tidaknya perang Baratayuda. Sang Hyang Wenang menjawab, perang harus terjadi, dan bila ada penghalang harus dilenyapkan. Wisanggeni memberi tahu bahwa Bathara Kala berusaha mengurungkan perang Baratayuda dengan membujuk agar Pandhawa menyerah pada Korawa. 

Sang Hyang Wenang berjanji akan menolong Pandhawa, tetapi kelak Wisanggeni tidak diperkenankan ikut menyaksikan perang Baratayuda. Wisanggeni menyanggupinya. Sang Hyang Wenang meminjaminya Gada Intan untuk membunuh Bathara Kala. Setelah menerima Gada Intan, Wisanggeni pergi ke Wiratha. Gada Intan diserahkannya kepada Wrekodara untuk membunuh Bathara Kala.
Wrekodara menemui Bathara Kala. Bathara Kala hendak menerkam Wrekodara, tetapi tubuhnya digores dengan Gada Intan oleh Wrekodara. Ia mati seketika. Gada Intan diserahkan kembali kepada Kresna. Kresna menyamar berujud Bathara Kala, menemui Bathari Durga. 
Bathari Durga diminta membunuh Pandhawa dengan Gada Intan. Gada Intan supaya disisipkan dalam kain penutup dada. Bathari Durga menerima Gada Intan, lalu disisipkan dalam kain penutup dada. Sewaktu melangkah Bathari Durga jatuh tertelungkup. Dadanya hancur karena Gada Intan. Bathari Durga mati seketika itu juga.
Pandhawa selamat dari ancaman Bathara Kala. Gada Intan dibawa Kresna, kemudian Wisanggeni ditugaskan mengembalikannya kepada Sang Hyang Wenang.

Wisanggeni menghadap Sang Hyang Wenang, mengembalikan Gada Intan dan ingin menepati janjinya. Atas kuasa Sang Hyang Wenang, Wisanggeni kembali ke alam baka.
Raja Duryodana dan warga Korawa tahu bahwa usaha Bathara Kala dan Bathari Durga tidak berhasil menumpas Pandhawa. Para Korawa serentak menyerang Negara Wiratha. Para Pandhawa melawan serangan Korawa. Korawa mundur, kembali ke Ngastina, dan bersiap-siap untuk menghadapi perang besar.
Para Pandhawa dan keluarga Wiratha berpesta keselamatan, bebas dari ancaman Bathara Kala.

Sri Batoro Kresno ( 24 )

Tokoh Kresna dikenal dalam cerita India, kemudian datang ke Indonesia dan dikembangkan melalui sastra Jawa kuna dan sastra Jawa baru. Dalam mitologi India diceritakan Kresna sebagai awatara dewa Wisnu, kehadirannya di dunia sebagai jelmaan dewa Wisnu yang kedelapan. 
Y.E.van Lohuizen dalam penelitannya menyimpulkan, Kresna merupakan awatara Wisnu yang ke duapuluh. Wisnu berturut-turut berawatara menjadi Purusa, Wariha, Narada, Nara dan Narayana, Kapila, Dattatreya, Yajna, Rsabha, Prthu, Matsya, Kurma, Dattwantari (dua kali) Narasingha, Wamana, Parasurama, Wedawyasa, Rama, Balarama, Kresna, Buddha dan Kalkin (Lohuizen, 1976 : 31)
Kresna yang bersumber kesastraan India dan sastra pewayangan. 
Berikut ini perbandingan dan pemaparan jatidiri Kresna yang diambil dari berbagai sumber cerita.

Kresna Sejak Kanak dan Menjelang Dewasa
Kresna adalah anak Dewaki dan Wasudewa, termasuk suku Yadawa, keturunan Yadu ia lahir dari kehamilan yang ke delapan, jelmaan dewa Wisnu. Isteri Wasudewa yang lain bernama Rohini, beranak Sankarsana berkulit putih (Wisnupurana, 1961 : 401). 
Dalam kitab Wisnupurana dan Mahabharata diceritakan, Wisnu mencabut dua helai rambut putih dimasukan di rahim Rohini, sehelai rambut hitam ke rahim Dewaki. Setelah Rohini dan Dewaki hamil dan beranak, masing-masing melahirkan Balarama berkulit putih dan Kresna berkulit hitam. Diceritakan pula, bahwa Ugrasena raja Manthura mempunyai saudara laki-laki bernama Dewaka. Ugrasena beranak Kangsa, Dewaka beranak Dewaki. Dewaki diperisterioleh Wasudewa, yang kemudian beranak Balarama dan Kresna 
Karena diramal, bahwa Balarama dan Kresna akan menghancurkan kekuasaan Kangsa, Balarama dan Kresna dititipkan kepada Nanda dan Yasoda.
Dalam kitab kakawin Krnandhaka diceritakan dewa Wisnu menjelma dalam rahim Dewati atau Raiwati isteri Basudewa. Dewa Basuki turun dalam isteri Basudewa yang bernama Rohini. Rohini melahirkan Kakrasana, Dewati melahirkan Kresna. Sejak bayi Kakrasana dan Kresna dititipkan kepada Antagupta dan Ayaswadha di Gobraja daerah Magadha (Kresnandhaka Zang IV – V)

Perkembangan cerita Kresna pada masa kecil dalam cerita pewayangan sedikit mengalami perubahan dan mempunyai beberapa versi cerita.
Dalam Serat Pakem Padhalangan Wayang Purwa, lakon Wisnu Nitis atau Lairipun Kangsa (Naskah Reksapustaka Surakarta Nomor D.79:2349-252), diceritakan demikian: Atas perintah Sang Hyang Guru, Hyang Wisnu menjelma ke marcapada bersama Bathara Laksmanasadu dalam wujud ular naga. Hyang Basuki ingin ikut menjelma, Sang Hyang Brama mendukungnya. Sang Basuki dan Bathara Laksmanasadu bersatu menjelma bersama. 

Harimau putih dan ular naga datang di hutan tempat Basudewa berburu. Kemudian mereka dibunuh oleh Basudewa. Harimau putih musnah oleh panah Basudewa. Jasmaninya masuk ke Dewi Kunthi isteri Pandhu. Naga musnah oleh panah Basudewa. Jasmani dan roh halusnya merasuk kepada Dewi Rohini isteri Basudewa yang lain. Kemudian Dewi Kunthi beranak Arjuna, jelmaan dari Wisnu. Dewi Rohini beranak Kakrasana.

Nojowirongko bercerita, penjelmaan Wisnu ke dunia terbelah menjadi dua, yaitu Kresna dan Arjuna. Andaikata bunga, mereka sebagai mahkota dan sari bunganya. Andaikata api, mereka sebagai bara api dan nyala apinya. Andaikata sirih, ibarat bagian muka dan belakang daunnya, berbeda rupa, bila digigit sama rasanya (Nojowirongko, 1954: 66).
Dalam Serat Pakem Purwa, lakon Kangsa Lair diceritakan, bahwa isteri Basudewa bernama Mahera, Dewi Rohini dan Dewi Mahendra. Kangsa lahir dari Mahera, hasil hubungan gelap dengan Gorawangsa. Kakarsana atau Kakrasana lahir dari Dewi Rohini, jelmaan dewa Bathara Basuki.dan Bathara Laksmanasadu. Kresna atau Narayana lahir dari Dewi Mahendra jelmaan dewa Wisnu. Kakrasana dan Kresna diasuh oleh Buyut Antagopa atau Buyut Nandagopa di Widarakandhang

Kasidho Gitasewoyo dalam cerita Basudewa Grogol, menceritakan Basudewa mempunyai isteri Amerta, Dewi Badraini dan Dewi Maherah. Dewi Amerta melahirkan dua anak kembar, diberi nama Kakrasana dan Narayana. Masing-masing berkulit hitam dan putih. Dewi Badraini beranak perempuan, diberi nama Bratajaya. Hasil hubungan gelap dengan Gorawangsa, Dewi Maherah melahirkan Kangsa (Kasidho Gitosewoyo, 1978: 29-33)

Dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa diceritakan, Basudewa mempunyai isteri Dewi Angsawati, Dewi Ugraini dan Dewi Badraini. Hubungan gelap antara Dewi Angsawati dengan Prabu Gorawangsa raja Jadingklik melahirkan Kangsa. Dewi Ugraini (Ugrawala) beranak Kakrasana, jelmaan Dewa Basuki. Badraini melahirkan dua anak kembar, bernama Narayana dan Endang Panangling

Dalam Serat Babad Purwa diceritakan, Basudewa mempunyai isteri Dewi Angsawati, Ugraini dan Ugrayani. Angsawati berhubungan gelap dengan Mayangkara, beranak Kangsa. Ugraini beranak Kakrasana, Ugrayani beranak Narayana. Setelah beranak Kakrasana dan Narayana, Basudewa mengambil isteri ke empat bernama Badraini

Hadikartoso dalam cerita lakon Laire Kakrasana Sakadang menceritakan, bahwa Bathara Wisnu bersama Bathara Leksmanasadu dan Bathara Basuki menjelma ke dunia. 
Mereka menjelma dengan perantara isteri Basudewa raja Mandura. 
Mereka bertiga turun ke dunia dalam wujud harimau putih dan ular naga. 
Harimau dan ular naga itu dibunuh oleh raja Basudewa, ketiga sang raja itu berburu di hutan. 
Roh mereka merasuk ke tubuh isteri Basudewa yang bernama Rohini, Dewaki dan Badraini. Rohini melahirkan bayi yang berkulit putih, diberi nama Kakrasana. 
Kemudian Dewaki mempunyai anak berkulit hitam, diberi nama Narayana atau Kresna. 
Badraini mempunyai anak, diberi nama Sumbadra

Sri Batoro Kresno ( 25 )

Di India Kresna mendapat banyak sebutan, antara lain Arisudana, Acyuta, Janardana, Gowinda, Hari, Hrisikesa, Yogeswara, Kesawa, Kesinisudhana dan Warsneya (Bhagawadgita, 1867: XXXVI)

Dalam cerita pewayangan Kresna mendapat sebutan Prabu Harimurti, Padmanaba, Narayana, Kesawa, Wasudewa, Wisnumurti, Danardana, Janardana, dan Dewaki. Ia bernama Kresna karena tubuh, tulang dan sumsumnya hitam. Ia bernama Pabmanaba karena mempunyai bunga Wijayakusuma yang berkhasiat untuk menghidupkan orang sedunia yang mati sebelum takdir kematiannya. Ia bernama Narayana karena penjelmaan dewa yang berkuasa mendinginkan panas hati semua makhluk hidup. Ia bernama Kesawa karena mempunyai kesaktian untuk bertiwikrama berwujud Kalamertyu. Ia bernama Wasudewa karena ia dewa terpilih. Ia bernama Darnadana karena kaya raya, segala keinginananya terlaksana, segala yang dikehendaki datang dengan sendirinya. Sejak kecil sampai masa dewasa Kresna dilahirkan sebagai manusia luar biasa. Ia diasuh oleh Antagupta (dalam cerita India) atau Sagopa (dalam cerita pewayangan). Sejak bayi ia disusui oleh iblis betina bernama Putana suruhan Kangsa untuk membunuhnya, tetapi Putana dihisap air susunya hingga mati. Iblis yang akan membunuh Kresna dengan mengoleskan racun pada buah dadanya itu dalam cerita Jawa kuna bernama Kotana . Selanjutnya cerita Kresna sejak kanak-kanak dapat dibaca dalam Bab II.

Dalam cerita pewayangan tidak banyak diceritakan kehidupan Kresna sejak kanak-kanak. Setelah menjelang dewasa Kresna berhasil membunuh Kangsa, kemudian merebut kekuasaan negara Mathura dan diserahkan kembali kepada ayah Kangsa bernama Ugrasena . 

Dalam cerita India, Kangsa adalah anak Ugrasena, raja Mathura. Kekuasaan Ugrasena direbut oleh Kangsa. Dalam cerita pewayangan Kangsa lahir dari isteri Basudewa, raja Mandura, hasil hubungan gelap dengan Gorawangsa. Kemudian Kangsa merebut kekuasaan Basudewa atas kerajaan Mandura. Kresna dan Baladewa berhasil membunuh Kangsa, kemudian menyerahkan kekuasaan negara Mandura kepada Basudewa. Cerita ini dimuat dalam Lakon Kangsa Adu Jago.

Kresna mempunyai kesaktian luar biasa, dan selalu berhasil dalam perang. Ia mempunyai senjata Cakra atas pemberian dewa Agni (Dowson, op.cit.:162). Dalam cerita Adiparwa, diceritakan Kresna menerima seperangkat panah bernama Mahaksaya Mahesadi dari dewa Agni (Adiparwa, 1985: 113). Dalam cerita Kresnandaka, Kresna menerima senjata pemberian Puspakindama yang diruwat dalam wujud buaya di sungai Serayu. Puspakindama menyerahkan Cakrasudarsana (Kresnandhaka Z XXVI: 1-16). Baladewa menerima senjata dari Jambuwana yang diruwat dalam wujud ular naga. Jambuwana menyerahkan senjata dahsyat bernama Langghyala (Kresnanadhaka ZXXX: 1-5). Kesaktian Kresna juga didukung oleh terompet Pancajanya dan bunga Wijayakusuma.

Perkawinan Kresna
Sumber cerita India menceritakan, setelah tinggal di Dwaraka, Kresna melarikan Rukmini, kemudian diperistrinya. Selanjutnya Kresna kawin dengan Jembawati (anak Jambawat) dan Setyaboma (anak Satrajit). Jumlah isteri selir kurang lebih enam belas ribu dan beranak seratus delapan puluh ribu anak laki-laki. 

Perkawinan dengan Rukmini menghasilkan anak Pradyumna dan Charumati. Perkawinan dengan Jambawati menghasilkan anak Samba, dengan Setyaboma beranak sepuluh anak laki-laki (Dowson: 1957: 167). Dalam sastra Jawa Kuna cerita perkawinan Kresna dengan Rukmini dimuat dalam kakawin Kresnayana karangan Empu Triguna dan kakawin Hariwangsa karangan Empu Panuluh. Dalam cerita pewayangan ada beberapa versi cerita perkawinan Kresna.
Hardjowirogo dalam buku Sejarah Wayang Purwa menerangkan, Kresna mempunyai empat isteri, yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, Dewi Setyaboma dan Dewi Pretiwi. Dewi Jembawati beranak Samba, Dewi Rukmini beranak Siti Sundari, Dewi Setyaboma beranak Setyaka. Dewi Pretiwi anak Hyang Antaboga beranak Bomanarakasura. 
Dalam cerita lakon Sang Bomantara dijelaskan, bahwa Dewi Pretiwi mempunyai anak Ksitija (Suteja) dan Ksitisundari atau Siti Sundari (Soenarto Timoer, 1969: 2).
Padmosoekotjo dalam buku Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita menerangkan, bahwa isteri Kresna sebanyak empat orang, yaitu Dewi Pretiwi (Nagaraja di Sumur Jalatundha), Dewi Jembawati (anak Jembawan dan Trijatha), Dewi Setyaboma (anak Prabu Setyajit, raja Lesanpura), dan Dewi Rukmini (anak Prabu Bismaka raja Kumbina). Dewi Pretiwi beranak Suteja yang kemudian menjadi raja di Trajutresna bergelar Prabu Bomanarakasura. Dewi Jembawati beranak Gunadewa dan Samba. Dewi Setyaboma beranak Siti Sundari dan Titisari. Dewi Rukmini beranak Partajumena (Padmosoekotjo Jilid V, 1984: 44)
Dalam Serat Wisnu Krama (Naskah Sanabudaya Yogyakarta Nomor PB. A128) diceritakan perkawinan Wisnu dengan Pretiwi yang beranak Yauti. Dalam cerita pedalangan diceritakan Pretiwi menjadi isteri Kresna, dan beranak Bomanarakasura.
Dalam kawin Hariwangsa karangan Mpu Panuluh diceritakan perkawinan Kresna dengan Jembawati beranak Samba, perkawinan Kresna dengan Rukmini beranak Pradyuma (Hariwangsa Zang LII:4-5). Dalam kakawin Bomantaka disebut nama Gunadewa yaitu kawan Samba ketika Samba menggembara di hutan, kemudian bersama Kresna membunuh sang Bhoma atau sang Naraka, anak Pretiwi dengan Wisnu (Bhomantaka Zang CII-CV). Dalam cerita pewayangan Gunadewa dan Samba adalah anak Dewi Jembawati.
Cerita perkawinan Kresna dimuat dalam cerita Lakon Narayana Maling atau Kresna Kembang, berisi cerita perkawinan Kresna dengan Rukmini. Lakon Alap-alapan Setyaboma atau Kresna Pujangga berisi cerita perkawinan Kresna dengan Setyaboma. Lakon Narayana Krama berisi cerita perkawinan Kresna dengan Jembawati.

Sri Batoro Kresno ( 26 )

Bila memahami cerita Kresna secara keseluruhan didapat kesan bahwa Kresna adalah manusia jelmaan dewa yang dalam masyarakat berkedudukan sebagai seorang yang menjabat raja, kepala keluarga dan anggota masyarakat.

Kresna mendapat sebutan raja binathara, artinya raja yang dianggap sebagai dewa. Dari sejarah kehidupannya Kresna memang keturunan Dewa Wisnu. Maka sudah selayaknya bila Kresna mempunyai watak, jiwa dan sikap sebagai dewa. Dalam cerita lakon Wahyu Makutharama dapat disimpulkan bahwa 

Kresna telah memahami dan mencontoh watak dan amal baik delapan dari dewa. Kresna sebagai raja telah memahami ajaran Rama kepada Wibisana yang bernama asthabrata. Istilah asthabrata juga disebut asthaguna dalam arti delapan kebijaksanaan. (Nitisruti bait 74). Oleh Raden Ngabehi Yasadipura, asthabrata dicantumkan dalam Serat Rama Pupuh LXXVII bait 17-35. Dalam Serat Wahyu Makutharama (Siswoharsojo,1960: 67-68), Kresna menerangkan makna Wahyu Makutharama. Orang yang ditempati Wahyu itu berarti tahu dan mau beramal seperti watak dan amal delapan dewa yang disebut dalam asthabrata.

Asthabrata menurut Raden Ngabehi Yasadipura dimaksudkan adalah watak dan sikap dari delapan dewa. Delapan dewa itu bernama Bathara Endra, Bathara Surya, Bathara Kuwera, Bathara Bayu, Bathara Baruna, Bathara Yama, Bathara Candra, dan Bathara Brama, yang masing-masng penggambaran wataknya adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan Bathara Endra membuat harum namanya di dunia. Ia suka berdana, dan pemberian dananya merata ke seluruh manusia tanpa membedakan orang kecil dan orang besar.
2. Bathara Surya memikirkan kehidupan rakyat, ia bersikap penyejuk suasana, tidak suka marah, lebih suka berdamai.
3. Bathara Kuwera selalu memperhatikan makan demi jasmaninya. Ia berpegang kepada segala sesuatu yang telah dijanjikannya, dan percaya kepada janji orang lain, dan tidak berbuat agar orang lain bersalah. Kebesaran masyarakat dan negara dipaercayakan kepada yang berkewajiban. Ia tidak pernah menyalahkan orang lain, semua dianggap sama, sebab semua orang dianggap mempunyai budi luhur. Ia tidak menonjolkan pribadinya.
4. Bathara Bayu suka memperhatikan gerak-gerik dunia. Tingkah-laku orang sedunia diketahuinya. Ia sangat memperhatikan perajurit negara, mengetahui usaha dan keingingan perajuritnya. Segala yang jahat dan yang baik dikenalnya. Disamping mencari kebutuhan hidup untuk dirinya, juga memikirkan kebahagiaan perajuritnya. Sikap baik juga tertuju kepada sanak saudaranya, mereka diusahakan memperoleh keselamatan. Pendeknya Bathara Bayu suka berbuat kebaikan dan menanam kebajikan.
5. Bathara Baruna selalu memegang senjata demi keselamatan segala yang diperbuatnya. Segala kepandaian dan kebijaksanaan dikuasainya. Seisi dunia dirangkum dengan sangat hati-hati. Semua orang yang berbuat jahat, mendatangkan kesusahan dan keresahan dibelenggunya. Senua isi dunia yang baik dan yang jelek dijaganya. Ia berpegang teguh kepada kebaikan.
6. Bathara Yama suka menghukum orang durhaka. Semua penjabat dibasmi, ia tidak memandang sanak saudara, mereka yang bersalah dihukum mati. Semua kejahatan diberantas agar tidak mengotori masyarakat. Semua perajurit dilarang berbuat jahat, yang bergaul dengan penjahat diusirnya.
7. Bathara Candra suka memaafkan, berkata manis dengan senyum, suci hati dan menaruh perhatian kepada para pendeta.
8. Bathara Brama mencari makan dan pakaian untuk perajuritnya. Semua perajurit dididik berani kepada lawan. Ia pandai bergaul dengan perajurit dan berhasil memusnahkan musuh-musuhnya.
Sehubungan dengan watak delapan dewa itu, Kresna menganjurkan agar seorang raja bersifat seperti tanah, air, angin, samodera, bulan, matahari, api dan bukit atau bintang (Siswoharsojo, 1960: 67)

Kresnsa dikenal sebagai raja Dwarawati yang suka berbuat seperti pendeta, senang berbuat adil, senang berolah keprajuritan dan mengindahkan sopan santun. Kresna memiliki keistimewaan, dicintai oleh para resi dan dewa. Kresna raja pandai yang tidak menyombongkan kepandaiannya dan merendahkan kepandaian orang lain (Wahyu Purba Sedjati, 1956: 11). Maka sering disebut pinandhita.

Kresna sebagai raja berjanji akan membuat terang bagi tempat yang gelap. Sikapnya kepada anak dan rakyat, bila jauh akan diperdekat, bila dekat akan dipererat (Siwoharsojo, op,cit:15)
Kresna sebagai manusia cinta dan sayang kepada sesama, gemar memberi pakaian, kepada orang yang tidak berpakaian, memberi makan orang kelaparan, memberi air kepada orang yang kehausan, memberi tongkat kepada orang yang berjalan di jalan licin, memberi tudung kepada orang yang kepanasan, memberi payung kepada orang kehujanan, membuat senang orang yang kesedihan, menyembuhkan orang yang menderita sakit. Kresna gemar memberi dana dan hukuman. Adil hukuman yang dijatuhkannya, tidak berat sebelah dan membeda-mbedakan orangnya. Siapa yang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya (Siswoharsojo, op.cit.: 11-12).

Ketika Samba anaknya, datang menghadap minta maaf atas dosa kesalahannya, Kresna menjawab, andaikan berdosa dan bersalah, ia tidak akan memberi hukuman mati. Sedang harimau yang buas saja tidak sampai hati memakan anaknya, meskipun ia lapar. Kresna akan menghukum dengan menyakiti tubuh bagi orang yang berdosa besar, akan memaafkan bagi orang yang berdosa kecil (Siswoharsojo, op.cit.:15).
Kresna menghargai, menghormati dan menjunjung tinggi saudara tua, yaitu Baladewa. Dikatakannya, saudara tua adalah pengganti ayah. Lagi pula mengakui, bahwa Kresna dan Baladewa sama-sama menjadi raja. Segala tingkah laku raja terbatas kepada aturan negara dan menjadi teladan bagi rakyatnya

Kresna juga mempunyai sikap dan sifat kekeluargaan. Dalam menentukan jodoh Kresna menyerahkan kepada mereka yang bersangkutan. Anaknya yang bernama Ksitisundari diberi kebebasan memilih suami. Ia menyetujui pilihan Ksitisundari kepada Abimanyu, bukan kepada Leksmanakumara, sebab anaknya menjatuhkan pilihan kepada Abimanyu. Ia tidak mau memaksa, mengikuti: Baladewa yang ingin mengawinkan Ksitisundari dengan anak raja Ngastina (Gathotkacasraya Zang XXXIX – XL).
Dalam cerita Wahyu Manik Imandaya, Kresna menyetujui Boma Narkasura mencari wahyu. Kresna mempunyai rasa cinta kepada anak sendiri dari pada kepada orang lain. Sebelum Boma Narakasura datang, Yudhisthira telah mengundang Kresna datang di Ngamarta. Setelah dipikir panjang Kresna tidak mau hadir di Ngamarta, Boma Narakasura dan Samba disuruh pergi mencari wahyu. Dalam cerita itu Sadewa yang memperoleh wahyu dengan perantaraan Bagawan Sukmaningrat. Samba berusaha merebut wahyu itu, tetapi tidak berhasil, lalu mengadu kepada Kresna, bahwa wahyu direbut oleh Sadewa. Kresna datang ke Ngamarta untuk minta wahyu yang diperoleh Samba, kemudian direbut oleh Sadewa. Setelah menerima penjelasan Kresna menyerah kepada kenyataan dan kebenaran. Boma Narakasura disuruh kembali ke Trajutrisna

Sri Batoro Kresno ( 27 )

Sikap Kresna dalam cerita lakon Wahyu Cakraningrat menunjukkan bahwa ia tidak pilih kasih terhadap anak sendiri dan anak menantu. Keduanya dinasihati untuk mencari wahyu (Padmadihardja, 1979: P.II-VII). Pada akhir cerita, Wahyu Cakraningrat jatuh pada Abimanyu. Kresna senang dan memandang sudah tepat bila wahyu bertempat pada Abimanyu, suami Siti Sundari.

Kresna sebagai seorang anak yang telah berbakti kepada orang tua. Ia bersama Baladewa, kakaknya, berhasil membunuh Kangsa dan merebut kekuasaan kerajaan Mandura. Kemudian tahta kerajaan dikuasakan kepada Basudewa (Mangkunegara VII Jilid 6, 1932: 23-25)

Kresna selalu ingat dan patuh kepada pesan orang tua. Ketika Sumbadra dilamar Baladewa atas nama raja Duryodana untuk dikawinkan dengan Burisrawa, Kresna tidak menyetujui dan tidak mau menyerah terhadap keinginan Baladewa. Kresna mengingatkan pesan Basudewa tentang perkawinan Sumbadra. Kresna berpegang pada pesan ayahnya, siapa pun yang dapat memenuhi persyaratan perkawinan boleh memperisteri Sembadra. Ternyata yang dapat memenuhi syarat adalah keluarga Pandhawa, diperuntukkan Arjuna. (Mangkunegara VII jilid 13, 1932: 3-7). Maka Kresna setuju Sumbadra diperisteri Arjuna.

Kresna suka kepada perdamaian. Dalam cerita lakon Kresna Duta, Kresna berusaha mendamaikan pertikaian Pandhawa dengan Korawa. Tetapi Korawa tidak mau menyerahkan sebagian kerajaan Ngastina, bahkan ingin membunuh Kresna yang bertugas sebagai utusan pendamai. Kresna didakwa membela Pandhawa, maka warga Korawa menyerang Kresna dan akan membunuhnya. Kresna memperlihatkan kekuasaan dan kesaktiannya lalu bertiwikrama, berubah dalam wujud raksasa dahsyat. Korawa hendak dihancurkannya. Warga Korawa ketakutan, Narada datang dan minta agar Kresna menghentikan kemarahannya. Kresna kembali ke wujud semula, meninggalkan Ngastina dan memberi tahu kepada Pandhawa. Karena jalan damai tidak dapat dipakai, Kresna menyetujui perebutan kerajaan Ngastina dengan jalan perang (Kresna Duta, 1958: 13-15)

Kresna berpandangan, bahwa musuh tidak kenal sanak saudara. Artinya meskipun saudara, bila ia berkedudukan sebagai musuh, maka harus dimusnahkannya. Sikap Kresna itu terlihat pada waktu Arjuna berkeberatan untuk melawan sanak saudaranya dan gurunya dalam perang Bharatayudha. Kresna memberi nasihat dan tidak membenarkan bila Arjuna bersedih hati, enggan dan ragu-ragu. Kata-kata Kresna dalam Bhagawadgita dapat diringkas isinya demikian. ”Arjuna mengapa engkau susah dan lemah hati? Pada saat krisis, lemah semangat bukan sikap seorang kesatria. Itu bukan sikap luhur, tetapi sikap yang memalukan. Jangan kau biarkan kelemahan itu. Itu tidak sesuai bagimu. Enyahlah rasa cemas dan kecut. Bangkitlah, hai pahlawan jaya.” (Bhagawadgita II: 2-3)
Arjuna menyampaikan alasan keberatan, tidak mau membunuh Bisma dan Drona, gurunya. Ia mengharapkan cahaya terang agar dapat melihat yang benar dan yang salah. 

Kresna memberi nasihat: ”Engkau sedih bagi mereka yang tidak sepantasnya kau susahkan. Engkau sering berbicara tentang budi pekerti. Orang budiman tidak sepantasnya bersedih bagi orang hidup atau mati. Apa yang tinggal di badan setiap orang tidak akan terbunuh. Oleh karena itu hai Arjuna, jangan berduka atas kematian makhluk manapun juga! Sadarlah akan kewajibanmu, engkau tidak boleh gentar. Bagi kesatria tiada kebahagiaan lebih besar dari pada bertempur untuk menegakkan kebenaran. 

Berbahagialah kesatria yang berkesempatan untuk bertempur tanpa harus dicari-cari olehnya. Pintu terbuka baginya. Tetapi, hai Arjuna! Engkau tiada melakukan perang untuk menegakkan kebenaran. Engkau meninggalkan kewajiban dan kehormatanmu. Maka dosa pulalah bagimu. Orang akan terus membicarakan nama burukmu. Bagi orang terhormat yang kehilangan kehormatan, lebih buruk daripada kematian. Para pahlawan besar akan mengira engkau pengecut, lari dari pertempuran. 

Mereka yang pernah memuja engkau akan merendahkanmu dengan penghinaan. Banyak caci-maki terlontar padamu. Musuh akan menjelekkan dan menghina kekuatanmu. Adakah yang lebih dari semua itu? Andaikan tewas, engkau akan menikmati surga. Kalau menang engkau akan menikmati dunia. Oleh karena itu, hai Arjuna! Bulatkan tekad, bertempurlah, majulah!” (Bhagawadgita II: 30-37).
Arjuna berpendapat, bahwa perang, bertempur, saling membunuh adalah perbuatan kejam, buas dan kasar. Ia menolak berperang, meskipun itu darma bagi ksatria. Ia tidak sampai hati membunuh sanak saudara. 

Kresna menasihatinya, ”Telah kukatakan hai Arjuna. Ada dua pilihan dalam hidup ini. Jalan ilmu pengetahuan bagi cendekiawan, jalan tindakan dan kerja bagi karyawan. Orang tidak akan mencapai kebebasan tanpa bekerja, tidak akan mencapai kesempurnaan bila menghindari kegiatan kerja. Tidak seorang pun tidak bekerja, walaupun untuk sesaat juga. Manusia yang tidak mau berbuat niscaya akan dipaksa bertindak oleh hukum alam. Orang yang duduk mengontrol panca inderanya, tetapi pikirannya mengenang kenikmatan, sebenarnya orang itu bingung, menipu dirinya dan disebut orang birokrat. 

Orang yang dapat mengendalikan panca inderanya dengan pikirannya, bekerja tanpa memikirkan diri sendiri, dia itu adalah orang utama. Berbuatlah seperti yang telah ditentukan untukmu. Berbuat lebih baik daripada diam. Kalau engkau tidak berbuat, hidup sehari-hari tidak mungkin terpenuhi. Ketahuilah, hai Arjuna. Dunia ini dibelenggu oleh hukum kerja. Oleh karena itu berbuatlah demi kebaktian tanpa mementingkan diri pribadi”
Atas nasihat Kresna itu Arjuna bangkit keberaniannya, dan sanggup tampil ke medan perang.

Sri Batoro Kresno ( 28 )

Jatidiri Krisna

Setelah meneliti dan merunut cerita yang dimuat dalam buku sumber India, hasil sastra Jawa kuna dan Jawa baru, maka diperoleh kesan dan kesimpulan sebagai berikut:

1. Data yang memuat cerita Kresna di India diperoleh dari kitab Wisnupurana, Hariwangsa dan Mahabharata. Cerita itu sebagian berkembang dalam cerita Jawa kuna. Pengarang sastra Jawa kuna menyadur dan mengolah cerita Kresna dalam sebagian kitab parwa, kakawin Kresnayana oleh Mpu Triguna, kakawin Hariwangsa oleh Mpu Panuluh, kakawin Kresnandhaka dan Bhomakawya atau Bhomantaka. Kemudian cerita itu berkembang dalam sastra pewayangan Jawa baru. Cerita Kresna dimuat dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa, Serat Babad Purwa, Serat Padhalangan Ringgit Purwa, Serat Pakem Wayang Purwa, Serat Pakem Padhalangan Wayang Purwa, Serat Lampahan Ringgit Purwa, dan cerita pendek pewayangan yang dimuat dalam majalah berhahsa Jawa.

2. Bila memeperhatikan ceritsa dari India, cerita Jawa kuna dan Jawa baru, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa cerita yang menampilkan tokoh Kresna tumbuh dan berkembang dari India ke Jawa melalui perkembangan karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Jawa dengan bahan dasar cerita asli India, yang kemudian diolah sesuai dengan pertumbuhan sastra pewayangan serta masyarakat lingkungannya.

3. Cerita yang bersumber sastra India, Jawa kuna dan sastra pewayangan mengangkat Kresna sebagai tokoh yang diceritakan secara lengkap. Pada umumnya cerita Kresna dimulai dari masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa kejayaan hidupnya. Cerita kelahiran, perkawinan dan keterlibtan Kresna dalam masyarakat dijelaskan, bahwa Kresna sebagai tokoh manusia biasa dan manusia luar biasa.

4. Kelahiran Kresna di dunia dipersiapkan oleh dewa, bahkan Kresna merupakan jelmaan dewa Wisnu. Baik cerita India maupun cerita Jawa menerangkan kelahiran Kresna sebagai manusia sakti yang didukung oleh sumber kesaktian dan persenjataannya. Dalam cerita India diterangkan, semasa kanak-kanak Kresna tinggal dilingkungan masyarakat gemabala dan peternak. Ia sebagai anak laki-laki yang luar biasa kenakalan dan kepandaiannya. Kemudian pada masa dewasa menjadi pemuda calon raja yang selalu berhasil dalam memberantas kejahatan dan manaklukan musuh-musuhnya. Dalam cerita pewayangan, masa kanak-kanak Kresna tidak banyak diungkap orang. Hanya sedikit dijelaskan, bahwa Kresna jelmaan dewa Wisnu. Kebanyakan cerita pewayangan menceritakan kehidupan Kresna pada masa dewasa. Pada masa muda diberi sebutan Narayana, dan pada masa berkuasa dikenal dengan nama Kresna raja Dwarawati.

5. Cerita perkawinan Kresna bertitik tolak pada kedudukannya sebagai putra Basudewa raja Mandura. Dalam cerita India, Kresna beristeri Jembawati, Setyaboma dan Rukmini. Dalam cerita pewayangan Kresna beristri Jembawati anak Jembawan dengan Trijatha, Setyaboma anak raja Setyajid, dan Rukmini anak raja Bismaka. Kemudian muncul sebuah cerita perkawinan Kresna dengan Pertiwi. Dalam cerita yang lebih tua diceritakan Pertiwi diperisteri Wisnu. Bila memperhatikan nama-nama isteri Kresna diperoleh kesan yang berhubungan dengan kata boma artinya langit, periwi artinya bumi, dan Dewi Pertiwi adalah pelindung bumi. Perkawinan Kresna dengan Pertiwi dan Setyaboma lambang persatuan Kresna dengan bumi langit, atau persatuan Kresna dengan dunia seisinya. Jembawati adalah wanita yang berdarah keturunan kera, manusia dan bidadari. Ia anak Trijatha dan Jembawan cucu Wibisanan, piut Wisrawa dan Sukesi. Perkawinan Kresna dengan Jembawati lambang persatuan Kresna dengan makhluk di dunia, dalam arti Kresna bisa manjing ajur ajer dapat bergaul dengan siapa saja. Rukmini jelmaan Bidadari bernama Dewi Sri yang terkernal sebagai dewi pelindung. Perkawinan Kresna dengan Rukmini memang sudah merupakan pasangan dari kedewatan, masing-masing jelmaan Wisnu dan Sri. Di kahyangan mereka bersatu, di dunia mereka pun harus bersatu sebagai pelindung dunia.

6. Kresna banyak terlibat dalam berbagai persoalan, terutama persoalan pribadi dengan anggota keluarga, persoalan priibadi dengan masyarakat sekeliling dan negara sekitar. Bila terjadi perselisihan antara Pandhawa dan Korawa, Kresna selalu berusaha mendamaikannya. Bila terjadi perselisihan antara keluarga Mandura, Kresna mmbela dan berpihak kepada yang benar. Bila berselisih dengan negara lain Kresna selalu membela rakyat dan negaranya.

7. Sikap hidup dan perilaku Kresna tercermin dalam berbagai cerita dan peristiwa. Dalam cerita perkaswinan, Kresna berjuang dan melawan musuh cintanya. Perkawinan dengan Rukmini ia bermusuhan dangn Drona dan Korawa. Dalam cerita Jawa kuna Kresna bermusuhan dengan Suteja raja Cedya. Perkawuinannya dengan Jembawati, Kresna dibantu Arjuna melawan Trisnacaya raja Sriwedari. Perkawinannya dengan Setyaboma, Kresna dibantu Arjuna harus membunuh raksasa Kala ketika melarikan Setyaboma. Dari cerita perkawinan itu dapat disimpulkan, bahwa Kresna sebagai manusia yang beristeri, ia harus berjuang seperti perjuangan manusia biasa dalam usaha memperoleh teman hidupnya.

8. Sifat dan watak pribadi Kresna dapat dilihat dari berbagai cerita riwayat hidup dan sikap hidupnya. Dalam cerita masa kanak-kanaknya, Kresna adalah anak luar biasa keberanian dan kesaktiannya. Pada masa dewasa Kresna sebagai remaja yang gemar bertapa, berkemauan keras dan pemberani. Sebagai anggota keluarga, Kresna suka menolong saudara-saudara yang dalam kesusahan dan membutuhkakn pertolongan. Selama berkedudukan sebagai raja Dwarawati, Kresna sebagai raja yang telah memahami dan mengamalkan makna yang terkandung dalam asthabrata. Artinya ia memiliki sifat delapan dewa yang mencerminkan kelebihan dan kehebatan para pemimpin atau pelindung dunia. Kresna berjiwa jujur, membela kebenaran dan keadilan. Sikap Kresna mencerminkan sifat-sifat ambek paramarta, ambek pinandhita dan ambek binathara.

9. Kresna berhasil berjuang hidup di dunia. Ia mati dan muksa kembali ke surga atau kadewatan dengan perantaraan saudaranya. Dalam cerita Mosalaparwa, Kresna muksa setelah terkena panah adiknya yang bernama Jara anak Basudewa. Ketika itu Kresna sedang memanjat dan sembunyi di sebatang pohon di tengah hutan dan melakukan Yoga.  *Jack*
www.padmoloekito.wordpress.com

Kamis, 25 November 2010

Bathari Durgo Vs Punokawan

Suatu hari di tegal tumaritis, terlihat barisan punokawan ( Gareng, Petruk, Bagong, Semar)berdiri berjajar memegang senjata siap perang…..tampak pula di kejauhan betari durga naik anjing kurapan menuju tegal tumaritis.Setelah berhadap-hadapan dan saling memandang..terlihat raut muka betari durga memerah bak tai rebus menahan amarah…sementara di sisi lain, barisan punokawan hanya tersenyum geli melihat raut muka betari durga yang marah..di mata mereka wajah itu bagai tai anjing di tumpukan sampah. (betari durga dengan wajah berapi-api berteriak bagai anjing kesurupan.)
 
Betari durga : Aku dengar dari abdiku, kalian memperolok-olok   aku…menghina aku, apa maksud kalian? bahkan kalian membunuh dan menyiksa para abdiku?

Gareng : he..he..ada yang salah dengan ucapan dan tindakan kami? Bukankah memang benar bahwa betari durga memang keturunan raksesi yang harus di basmi, kalau perlu di cincang buat makan anjing buduk

 Betari durga : lalu buat apa kalian semua memperolok-olok aku sedemikian rupa?

(pada waktu itu ketika para punokawan sedang melewati  desa di ujung kerajaan, mereka melihat segerombolan raksesi sedang membuat onar.Mereka sedang berusaha menculik warga untuk pemuas napsu mereka. Tetapi niat mereka terhalang oleh kedatangan para punokawan yang menghadang langkah mereka. Salah satu raksesi itu mencoba mengusir  dengan melempar sebatang gada  kearah para punokawan. tetapi gada tersebut luluh lantak sebelum menyentuh kulit salah satu punokawan. Sebelum hilang rasa heran mereka, para punokawan dengan secepat kilat berkelebat menyerang para raksesi, dan membuat barisan para raksesi kocar kacir bagai di terjang badai, Gareng tampak memimpin para punokawan menghancurkan atau mematahkan anggota tubuh para raksesi tanpa ampun. Sebuah pemandangan yang mengerikan, darah para raksesi tampak menggenangi tanah di sekitar arena pertempuran. Hanya ada satu raksesi yang dibiarkan hidup oleh  gareng, supaya melaporkan kepada betari durga junjungan mereka, dan sebelumnya gareng membuat buntung tangannya,sebelum raksesi itu pergi gareng mengancam mengatakan  bahwa semua raksesi  yang akan membuat onar akan di cincang tanpa terkecuali, bahkan gareng menantang supaya betari durga junjungan mereka untuk mempertanggung jawabkan perbuatan para abdinya. Lalu abdi tersebut tergopoh-gopoh melarikan diri kembali ke ke kerajaannya dan melaporkan kepada betari durga junjungannya. Betari durga tampak marah dan murka mendengar laporan raksesi abdinya, lalu segera ia menaiki anjing tunggangannya untuk menuju ke kediaman para punokawan di tegal tumaritis) 

Betari durga : Aku tidak terima, kalian memperlakukan para abdi ku sedemikian rupa…itu penghinaan…
Gareng : Punya abdi dengan perbuatan dan kelakuan seperti itu masih di bela? Heran….oallah….namanya juga raksesi laknat….kalau memang aku menantang, kamu mau apa? kalian pantas mati dan berkerak di neraka jahanam….bercermin….bercermin  

Gareng : Truk, papas serangan dari samping kanan..Gong…papas juga dari kiri…Pak semar..siapkann ajian kentutmu..aku akan memapas serangannya dari depan.
( serentak gareng, petruk, bagong berkelebat bersama-sama. terjadi pertarungan sengit, tapi apa daya, kesaktian betari durga masih jauh di bawah para punokawan. yang terjadi betari durga menjadi bulan2an para punokawan…tampak darah mengalir dari luka tubuh betari durga akibat  senjata para punokawan. tetapi betari durga masih memberikan perlawanan…karena saking jengkelnya, semar yang sedari tadi sudah ngeden menyiapkan ajian kentutnya, melompat tepat didepan muka betari durga, lalu membalikkan tubuhnya mengeluarkan ajian kentutnya, sampai2 sedikit tainya ikut menyembur kewajah betari durga…matilah betari durga seketika)
Gareng, Petruk, Bagong : Hidup bapak Semar…..Hidup kentut Semar..hidup Tai  semar.. Uhuuy.....!! 

pungkasan Carito:

Kentut dan Tai semar mujarab buat bunuh orang2 yang  merasa dirinya pantas untuk jadi kerak neraka jahanam, basmi penyimpangan basmi keangkara murkaan.  

Rabu, 24 November 2010

RONGGO WARSITO


SERAT KALATIDHA

Serat Kalatidha karya Ronggowarsito yang tertuang dalam Serat Centhini jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 dan 258 menggambarkan situasi jaman yang terjadi hingga akhirnya muncul sang Satrio yang dinanti. 
Kutipan Serat Kalatidha 

Pupuh 257 (tembang 28 s/d 44) :
Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.
  • Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.
Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira.
  • Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.
  • Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan banyak orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.
Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.
  • Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan / perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang di jalan-jalan.
Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.
  • Alam pun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.
Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya.
  • Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram di hati.
Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar silastuti titi tata.
  • Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.
  • Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.
Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak-cakrak.
  • Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.
Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.
  • Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku / pendapat orang se-negara.
Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.
  • Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh, mencoba untuk melihat tanda-tanda yang tersembunyi dalam peristiwa ini.
Anaruwung, mangimur saniberike, menceng pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha ing karsa tanpa wiweka.
  • Berupaya tanpa pamrih.
Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang mangkono yen niteni lamampahan.
  • Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan.
Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.
  • Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
  • Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.
Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.
  • Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).
Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka, sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan memaronira.
  • Pada saat itu sudah dekat berakhirnya zaman Kaladuka.

Pupuh 258 (tembang 1 s/d 7) :
Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
  • Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa/Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara murkapun mereda.
Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa sarana, nagdam makduming srinata, sonya rutikedatonnya.
  • Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama.
Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih keneker Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong katambehan ika, karsaning Sukma kinarya, salin alamnya, jumeneng sri pandhita.
  • Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya, pada saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur.
Luwih adil paraarta, lumuh maring branaarta, nama Sultan Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung sirollah prajuritnya, tungguling dhikir kewala, mungsuh rerep sirep sirna.
  • Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda, bernama Sultan Erucakra (pemimpin yang memiliki wahyu), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan manusia, hanya sirullah prajuritnya (pasukan Allah) dan senjatanya adalah se-mata2 dzikir, musuh semua bisa dikalahkan.
Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan nata, amrih kartaning nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa, denwangeni katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun luwiha.
  • Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan negara, dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi, penghasilan yang diterima.
Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa, sawah sewu pametunya, suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning wong cilik samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.
  • Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.
Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas, wedi willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik akukutha, parek lan kali Katangga, ing sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata.
  • Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.
Dari gambaran yang tertulis di dalam Serat Kalatidha di atas, maka kita akan mendapatkan gambaran yang sama dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Percaya atau tidak, kenyataannya semua yang telah digambarkan para leluhur nusantara ini telah terjadi dan sedang berlangsung serta insya allah akan terjadi, baik lambat ataupun cepat. Karena apa yang telah dituangkan para leluhur kita dalam bentuk karya sastra adalah hasil “olah batin” ataupun “perjalanan spiritual” beliau-beliau di dalam menangkap lambang-lambang-Nya di alam nyata maupun gaib. Inilah yang diistilahkan dalam kawruh jawa sebagai Sastrajendra Hayuningrat (sastra tanpa wujud - papan tanpa tulis, tulis tanpa papan). Sehingga dalam mengungkapkannya penuh dengan perlambang (pasemon ataupun sanepan). Semuanya hanya ingin mengingatkan kita anak cucu leluhur nusantara ini untuk senantiasa Eling dan Waspada.

Selasa, 09 November 2010

Noto dworowati

Ingkang minurweng carito Anenggih negari pundi to engkang kinarya bebukaning kondho murciting ing kawi engkang kaeko adi doso purwo. Eko marang sawiji adi linuwih dasa sepuluh purwo kawitan senadyan kathah titahing Jawoto ingkang sinonggo pertiwi kaungkulan ing akoso kahapit ing samodro loyo kathah ingkang samiyo anggono raras.
Nanging datan kadi negoro Dworowati yo negoro Dworoko. Winastan negoro Dworowati negari Palawangan ing jagat dene Dworoko negari pambuko. Milo pantes bebukaning carito. Ngupoyo negari satus datan antuk kalih. Sewu tan jangkep sedoso.
Dasar negari panjang-punjung pasir wukir loh jinawi gemah ripah karto tur raharjo.
Panjang dowo pocapane punjung luhur kawibawane pasir samodro wukir gunung dene toto rakiting projo ngungkuraken pagunungan ngerengaken benawi nganan aken pasabinan amangku bandaran ageng
Loh tulus kang sarwo tinandur jinawi murah kang sawi tinumbas gemah lumaku dagang layar rinten dalu tan ono pedote labet tan ono sang yaning margo aripah janmo monco ingkang samiyo bebodro ing projo Dworowati ketingal jejel hapipit aben cukit tepung taritis pangraos papan wiar dinulu katingal rupak.
Kerto kawulo ing padusunan mungkul anggenyo ulah tetanen mardi undaking wulu pametu ingon-ingon raja koyo kebo sapi, mendo tanpo cinencangan pitik iwen tan ono kinandangan yen rahino sami agelar ing pongonan gumanti ratri wangsul wonten kandang nyo dewe-dewe. Paran dene datan ono ingkang cicir sajugo raharjo tebih ing pareng muko.
Dene poro mantra bupati podo kontap kautamane wicaksono lipat ing kawruh sarto putus marang reh pangembating projo tansah ambudi wuwuh-wuwuh kuncaraning projo.
Dasar Dworowati negoro jero tancebe gede obore padang jagade dhuwur kukuse adoh kuncarane. Pramila datan ngemungaken tanah jawi kemawon engkang samiyo sumuyut senadyan ing tanah sabrang. Kathah negari ingkang samiyo manungkul tan karono ginebak ing poncokoro sayekti among kayungyun dating pepayaning kautaman.
Bebasan ingkang celak samiya mangklung ingkang tebih samiyo tumiyung sakimg jembaring laladan lan kathahing jajahan. Pramila, saben antoro mongso samiyo asok bulu bekti glondong pangarem-arem peni-peni rojo peni guru bakal guru dadi minongko pundutaning ratu.
Wenang den ucapno sinten jejuluk ing noto ingkang hangrengani negoro Dworowati.
Jejuluk Sri Bathoro Kresno yo Hari Murti Sosro Sumpeno Patmonobo Wasudewo Kesowo Noroyono Danondo yo Moho Prabu Djanar Dono = Wisnu Murti.
Sanadyan titaning ngarcopodo noto ing Dworowati wenang jejuluk Bathoro Sanyoto manungso pengawak Jawoto.
Milo kepareng jejuluk Prabu Sri Bathoro Kresno narendro cemeng sarirane trusing balung sungsume daging prapteng ludirane yen ayam-ayamo cemani kinaryo sarono dadi jayaning pandowo ing perang Baroto Yudo Joyo Binangun.
Patmonobo = wadah linuwih dene kewowo dadi wadahing sekar wijoyo kusumo panguripane wong sabumi.
Wasudewo = narendro titisaning dewo Marmo kewowo hangresepi jagad.
Kesowo = panah linuwih dene kalamun tiwi kromo biso asipat braholo sak kolo mercu gedene.
Danardono = sedino-dino tansah adedono lumintu lir ilining toyo marmot.
Wisnumurti = wisnu sawentah marmo wus tan samar saulah kridaning jagad kacarito sang Yang Wisnu binelah panitise marang Kresno lan Arjuno pomo kembang lan sarine pomo geni lan urube genine Kresno urube Arjuno pomo suruh lumah lan kurebe dinulu seje rupane digigit tunggal rasane.
Pranyoto ratu Dworowati ambek tanuhito somo hito soro hito tegesipun remen ulah kapenditan remen ulah pangadilan marsudi reh ing toto krami remen ulah kaprajuritan.marmo kinasihan dewo kinemulan widodari / kinacek sak somo samaring ratu luhur tan ungkul-ungkuli andap tan keno kinungkulan ratu Amiguno tang ngendak gunaning jalmo.
Dene lelabuhaning noto paring sandang wong kawudan asung pangan wong kaluwen aweh banyu wong kasadan paring teken wong kalunyon asung kudung wong kepanasan aweh payung wong kudanan karyo sukaning prihatos maluyak aken wong kang nandang sakit.
Sarwo nindak aken somo bedo dendo lampahing pangadilan anindak aken dono wesi asat lire mboten ambau kapine yen sampun leres mboten kapidono.
Lan mboten mawi wigah wigih sanadyan putro sentono wargo lajeng kapatrapan pamiseso utawi anetepi berbudi bowo leksono punopo ingkang kadawuhaken mboten kengeng oncat mesthi kalampahan yen to ginunggungo.
Lelabetaning sang noto wiyaring jajahan sedalu datan ono pedhote. Kasigeg ing murweng kawi naliko semono nuju ari respati sri narendro miyos ing siti inggil binatu roto lenggah ing dampar dento pinalipit kencono pinatik ing sesotyo nowo retno lemek kasur babut prang wedani sinebaran sari-sari ginondo wido ing jebat kasturi ginarebek ing badoyo srimpi biyodo joko paloro loro manggung ketanggung emban ceti parekan kang samyo ngampil upacaraning keprabon. Banyak dalang sawunggaling hardowaliko kacamas miwah dwi ponggo kang sarwo kencono. Lenggahing noto kinebutan lering manyuro kongas gandaniro noto dumugi ing pangurakan jawi sirno kamanungsane kadyo Sang Yang Wisnu den hayap poro widodari rep sinem permanem tan ono sabawaning walang alisik gegodongan datan obah samirono datan lumpah hamung sabawaning pradonggo kang mang hanyut-hanyut lawan swaraning peksi jalak engkok engkang munyo ing saluhuring tratak rambat miwah sabawaning poro abdi kriyo bende gending kemasan gebleg ingkang samyo nyambut karyo ing jawining pasewakan pating carengkling imbal ganti lir mandyo rogo teko hamiwahi asrining panangkilan kinaryo pratondo sang noto medar sabdo. Gongso kyai ponco jalmo engkan muni tanpo tinabuh ndodosaken horek ingkang samyo moro sebo.
Ayo konco ndodog konco ndodog mengko ndak ndadekke dukaning kang sinuwun

Serat Babad Tanah Jawi II

Munggeng sarkara ring ukara nis, sasmita tan sumukeng pustaka,
kang tyas rujit karejete, lir antaka kawantu ,
Murwisesaning Yyang kaeksi, kang nitah amamatah,
ing boga sawegung, kang amurwa sifat purba,
kang ambagi sagala isining bumi nimpuni paripudya.

Kang asih mring rahsanya ngasihi, mangka manggala para dinuta,
diperig rat wuryaning rate, respatikang rinasul,
warana ris nayakeng bumi, kuneng awit kawangwang,
wawangson winangun, rawining rat nusa Jawa,
kinarsakken dinawa supaya dadi, manfangat winasiyat.

Mangka pangenget amemengeti, wajib sajarahing tanah Arab,
tuhu ing Jawa tan pae, pamilanging luluwur,
pan ingunikalimosadi, pusaka pinustaka,
ing karsa sang prabu, Pakubuwana kaping pat,
pinrih aja parbatan wit carita di, ayya nanggung rekasa.

Rikang nalika mreteng palupi, limalas Ngakhad Rabiyulawal,
kanem mangsa lifwarsane, Von wuku Julungarum,
margeng nata kaswareng dasih, pareng ingkang sengkala,
mugya Hyang Aruhur, marma martana nugraha,
mawantua safangat si murteng bumi, mring sang kretarteng praja.

Purwaning wasita kang tinati, sajarahing nata kina-kina,
ing nusya ]awa babade, dhihin ingkang luluhur,
Nabi Adam putra Esis, Esis putra Nurcahya,
Nurcahya asunu, iya mangaran Nurrasa,
Sang Nurrasa ya aputra sanghyang,Wening aputra sanghyang Tunggal.

Santo saa ri ward ay a dining, muktamate carita punika,
winangun lawan’kususe, tinurut urutipun,
malar dadya tepa palupi, rikang karsa amarna,
nenggih jeng Sinuhun, Pakubuwana ping sapta,
angluluri anggiting rama narpati, piririhsapangatira.

Tumeraha trus ing wuri-wuri, warananing murweng kawiryawan,
wahyaning wahyu wiyose, mawantua rahayu ..,
yuwanane dennya ngayomi, ring wadya sadayanya,
kasub sabiyantu, aywa na sangsayanira,
amanggiha suka arja , dining dana narendra.

Nihari nalika marteng palupi, Timpak Wage ping gangsal ing Rajab,
lumaksaneng taun Ehe, Sancaya mangsa catur,
Mandhasiya den-sengkalani, dadirasa sabdendra,
muga Hyang kang ruhur, marma martana nugraha,
inistura ing rahmat sang murbeng bumi.

Nanging ta ingkang wayah ing benjing, kangjeng Panembahan Purbaya,
punika kang madeg rajeng, umadegipun ratu,
Ngadipala puranireki, langkung sangsanira,
rikang purwanipun, wesana luhur kalintang,
anglangkungi ing sama-samaning aji,umadeg adilira.

Sawingking tuwan besuk, ingkang pasthi umadeg aji,
inggih wayah paduka, panjenenganipun,
ngadhaton ing Adipala, kilen lepen Semanggi pecane benjing,
sangsaya karatonnya.

Nanging purwane kewala benjing, sangsayane ingkang panjenengan,
way ah paduka ing tembe, dining wesananipun,
apan madeg nata dibya di, netepi adil ing Hyang,
tuhuning pinunjul, ing sasama-sama nata,
tanah sabrang tan ana kang nyanyameni,
jenenge wayah tuwan.

Serat Babad Tanah Jawi

Munggeng sarkara ring ukara nis, sasmita tan sumukeng pustaka,
kang tyas rujit karejete, lir antaka kawantu ,
Murwisesaning Yyang kaeksi, kang nitah amamatah,
ing boga sawegung, kang amurwa sifat purba,
kang ambagi sagala isining bumi nimpuni paripudya.

Kang asih mring rahsanya ngasihi, mangka manggala para dinuta,
diperig rat wuryaning rate, respatikang rinasul,
warana ris nayakeng bumi, kuneng awit kawangwang,
wawangson winangun, rawining rat nusa Jawa,
kinarsakken dinawa supaya dadi,  manfangat winasiyat.

Mangka pangenget amemengeti, wajib sajarahing tanah Arab,
tuhu ing Jawa tan pae, pamilanging luluwur,
pan ingunikalimosadi, pusaka pinustaka,
ing karsa sang prabu, 

Pakubuwana kaping pat, pinrih aja parbatan wit carita di,
ayya nanggung rekasa.
Rikang nalika mreteng palupi, limalas Ngakhad Rabiyulawal,
kanem mangsa lifwarsane, Von wuku Julungarum,
margeng nata kaswareng dasih, pareng ingkang sengkala,
mugya Hyang Aruhur, marma martana nugraha,
mawantua safangat si murteng bumi, mring sang kretarteng praja.

Purwaning wasita kang tinati, sajarahing nata kina-kina,
ing nusya ]awa babade, dhihin ingkang luluhur,
Nabi Adam putra Esis, Esis putra Nurcahya,
Nurcahya asunu, iya mangaran Nurrasa,
sang Nurrasa ya aputra sanghyang, 
Wening aputra sanghyang Tunggal.
Santo saa ri ward ay a dining, muktamate carita punika,
winangun lawan’kususe, tinurut urutipun,
malar dadya tepa palupi, rikang karsa amarna,
nenggih jeng Sinuhun, 

Pakubuwana ping sapta, angluluri anggiting rama narpati,
piririhsapangatira. Tumeraha trus ing wuri-wuri,
warananing murweng kawiryawan, wahyaning wahyu wiyose,
mawantua rahayu .., yuwanane dennya ngayomi,
ring wadya sadayanya, kasub sabiyantu,
aywa na sangsayanira, amanggiha suka arja ,
dining dana narendra.

Nihari nalika marteng palupi, timpak Wage ping gangsal ing Rajab,
lumaksaneng taun Ehe, Sancaya mangsa catur,
Mandhasiya den-sengkalani, dadirasa sabdendra,
muga Hyang kang ruhur, marma martana nugraha, 
inistura ing rahmat sang murbeng bumi.

Nanging ta ingkang wayah ing benjing, kangjeng Panembahan Purbaya,
punika kang madeg rajeng, umadegipun ratu,
Ngadipala puranireki, langkung sangsanira,
rikang purwanipun, wesana luhur kalintang,
anglangkungi ing sama-samaning aji, umadeg adilira.

Sawingking tuwan besuk, ingkang pasthi umadeg aji,
inggih wayah paduka, panjenenganipun,
ngadhaton ing Adipala, kilen lepen Semanggi pecane benjing,
sangsaya karatonnya.

Nanging purwane kewala benjing, sangsayane ingkang panjenengan,
way ah paduka ing tembe, dining wesananipun,
apan madeg nata dibya di, netepi adil ing Hyang,
tuhuning pinunjul, ing sasama-sama nata,
tanah sabrang tan ana kang nyanyameni,
jenenge wayah tuwan.

Semar Ngejowantah

Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon... dasar karohan pawarto, bebaratan ujar lamis, pinudya dadya pangarsa wakasan malah kawuri, yen pinikir sayekti mendak apa aneng ngayun andedher kaluputan..